Kamis, 12 Februari 2009

Nasib Buruh Indonesia

Tak satu pun orang di dunia ini saat masih kecil bercita-cita menjadi orang yang susah atau hidup dalam kesusahan atau miskin. Namum kadang untung tidak dapat diraih malang pun tak terhindarkan.

Sama halnya dengan nasib buruh di negeri ini, dimana krisis global yang melanda dunia, buruhlah yang lebih dahulu terkena imbasnya. Ancaman PHK tidak terhindarkan, pesangon belum tentu memadai untuk modal hidup sebelum mendapat pekerjaan lain atau untuk memulai usaha.

Terkadang kita tidak mengerti apa kerja aparat negara ini dari tingkat lurah,sampai ke pusat. Saat kampanye selalu beerkoak-koak atas nama rakyat kecil, buruh, tani dan nelayan.

Coba kita lihat sudah satu periode pemilu masa reformasi dan pilkada di beberapa daerah, tapi kita belum melihat hasil nyata. Malahan Buruh Indonesia terjual dinegeri sendiri, dengan tetap dijalankannya sistem outsourcing.

Tidak ada jaminan kepastian hidup, tidak jauh bedanya dengan masa perbudakan. Jika majikan tidak menginginkan lagi para makelar yang mengatasnamakan perusahaan penyalur tenaga kerja akan menjual sang buruh ke majikan yang lain, begitu seterusnya.

Memang jika orang yang tidak terlibat atau yang menjadi korban tidak akan merasakan penderitaan ini. Bekerja dalam tekanan dan hati was-was, akankan besok dikeluarkan dan di lempar kemajikan lain.

Jaminan sosial juga belum tentu ada, jika sakit ya tentunya berobat dengan biaya sendiri sementara upah yang diterima saja belum tentu cukup untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.

Diharapkan para buruh dan orang yang perduli dengan nasib buruh agar membantu memberi pemahaman tentang UU dan peraturan Ketenagakerjaan karena jika tidak kita yang perduli mau melakukannya, siapa lagi???????????

Rabu, 11 Februari 2009

KAMPANYE

Reformasi yang telah menggulirkan dirinya sejak beberapa tahun lalu membuat sebagian orang merasa besar kepala dan tidak ingin meluangkan kesempatan yang terbuka ini untuk mengambil keuntungan pribadi atau golongan, meletakkan kekuasaannya di atas.kebingungan orang awam yang sama sekali tidak faham apa itu reformasi. Pokoknya reformasi ya reformasilah.

Imbas dari itu semua sebagian orang merasa dirinya paling bersih, idealis, dermawan atau boleh dibilang setengah malaikat. Tapi ironisnya ternyata malaikat-malaikat dadakan ini seperti mie instan yang langsung mengembang saat dituangkan air mendidih dan mengenyangkan perut lapar yang memakannya namun beberapa saat lagi akan lapar lagi dibuatnya.

Setiap pada masa sekarang ini berebutan dan berambisi agar dipilih menjadi pemimpin yang kebanyakan bagai srigala berbulu domba mengumbar janji ini itu agar setiap orang simpatik kepadanya dan mengadungkan dirinya baik dalam berita-berita di media cetak dan sudah tentu bisa ditebak kira-kira, ada apa dengan cinta.

Reformasi yang kebablasan membuat ambisi setiap orang yang berduit mengalami laju inflasi yang tinggi sehingga ke membentuk grafik kenaikan tidak terbatas, sama seperti naiknya BBM dan sembako layaknya algojo yang tidak berperasaan yang bertugas memenggal kepala korbannya.

Demikian juga cuap-cuap para penjual obat politik dengan semangat berapi-api diatas panggung politik lawak-lawak tukang obat mengumbar bualan tanpa berfikir apakah bualannya sudah kadaluarsa atau sudah mendapat lebel halal dari Majelis Ulama Indonesia.

Rakyat yang masih polos dan lugu, berstatus awam dalam berpolitik seakan dipaksakan percaya dan menerima bualan-bualan basi dengan retorika-retorika murahan atas janji-janji yang ditawarkan. Bagai seorang penjual obat di pekanan pasar mingguan para calon pemimpin ini beratraksi dengan segala kemampuan daya tipuannya guna mempengaruhi setiap orang yang mendengarkan. Atau petuah-petuah para alim ulama di pengajian yang mengupas ayat-ayat suci Illahi.

Bagai cerita sebuah roman picisan umbaran janji-janji kata manis merayu laksana syair bait lagu penyanyi negara jiran, Siti Nurhaliza. Janji sejahtera, pendidikan yang baik, kesehatan bagi rakyat mengatasi pengangguran dan lain sebagainya.

Senyum tebar pesona dengan membagikan sedikit dari harta mereka tidak ubahnya memancing di kali dengan sedikit umpan mengharapkan ikan yang besarnya berkali-kali lipat. Atau sepeti prinsip ekonomi dangan modal yang sedikit untuk mendapatkan untung besar.

“ Hah……! Suara yang sepertinya telah muak dan akan muntah karena kekenyangan makan dari sebuah pesta yang banjir dengan makanan yang harus dihabiskan, terdengar dari mulut orang-orang yang sepertinya telah berpengalaman dalam hidupnya.

“Bapak-bapak, Ibu-ibu sekalian, apakah kalian sudah merasa apa yang dirasakan pemerintah yang sedang berkuasa sekarang? Apa kalian ingin selamanya hidup tertatih-tatih dalam penderitaan yang bekepanjangan?”

“Tidak!” Jawab orang-orang di bawah pentas bagai semut yang mengerumuni sebongkah gula-gula manis.

“Jadi untuk itu kami berdiri disini,” kata laki-laki yang berpakaian safari abu-abu dengan tidak lupa menebar pesona senyum bagai seorang pemuda yang ingin memikat hati seorang perempuan.

“Kami akan berjuang untuk anda sekalian, jadi pilihlah kami jika ingin perubahan!” demikin laki-laki bersafari itu mencoba menghipnotis orang-orang yang masih bergerombol di bawah pentas.

Selang beberapa waktu setelah mengubar janji laksana orang yang pacaran yang mengubar janji mengungkapkan kesetiaan sehidup semati, mulai musik dangdut yang menghidupkan suasana menjadi lebih meriah mulai dimainkan.

Anak-anak muda, orang tua, laki-laki dan perempuan larut dalam goyangan sedikit erotis gaya ngebor Inul, atau bintang film india yang sering diputar di stasiun telivisi swasta.

Semua larut hanyut dalam alunan dan irama dangdut artis lokal bagai tidak ada keseimbangan diri terus dan terus bergoyang seperti dalam sebuah getek di atas gelombang laut lepas yang mengarah ke Pantai Pandan di Sibolga atau Pantai Cermin di Serdang Bedagai.

Tak ketinggalan juga para wartawan-wartawan senior, amatir sampai yang mengaku-ngaku wartawan atau wargad turut memeriahkam kampanye hari itu. Bliz kamera terlihat jepret sana-jepret sini.

Dengan merangakai kejadian yang berlangsung selama kampanye itu mereka rangkai kata-kata pujian kepada laki-laki bersafari yang sedang mengkampanyekan dirinya pada koran mereka yang akan terbit esoknya.

Terlihat seorang yang sibuk dengan Handycam, sorot sana shooting sini mengabadikan kegiatan itu. Mungkin laki-laki bersafari itu sengaja membayar orang tersebut untuk merekam wajah-wajah orang yang datang saat ia kampanye yang tidak terlihat dari atas pentas dia mana ia menyampaikan bualannya.

Tidak luput juga pihak aparat keamanan yang berjaga jaga di keramaian kampanye calon kepala daerah itu yang bertugas mengamankan jalannya kegiatan itu. Terlihat beberapa polisi yang berpakaian preman diantara kerumunan massa .

Para penarik becak dikumpulkan untuk memeriahkan acara itu. Becak-becak itu dibariskan bersaf dan dihiasai stiker-stiker bergambar laki-laki berpakain safari dengan senyum manis yang menghiasi raut wajah separuh baya itu.

Dipinggir lapangan bola yang dipakai untuk kegiatan kampanye itu terlihat beberapa georbak penjual bakso, sate, sampai penjual balon dan mainan anak-anak.

Sama sekali para pedagang ini tidak tertarik dengan bualan laki-laki yang berpakain safari itu, yang terbesit dalam hatinya ucapan “ Alhamdulillah, semoga besok ada kampanye lagi, biar daganganku habis terjual dan bisa bawa duit pulang buat anak dan istriku.

“Luamayan juga ya, kalau ada kampanye seperti ini,” kata seorang ibu yang berdiri diantara kerumunan para konstituent yang hadir dalam kampanye laki-laki yang berpakaian safari itu sambil memegang payung hijau yang melindungi dirinya dari sengatan sang surya yang juga turut menyaksikan dan mendengarkan bualan-bualan yang sudah basi itu.

“ Kenapa rupanya?” jawab temannya yang berdiri bersebelahan terlihat keletihan karena menggendong anaknya yang berusia sekira 1,5 tahun. Yang tanpa disadari dipaksakan ikut mendengarkan bualan-bulan laki-laki yang bersafari itu.

“Enaknya,” si ibu mulai menjelaskan satu persatu apa yang hendak diterangkannya.

“Pertama, kita dikasi kaos gratis dan bisa dipakai besok buat ke sawah, dan yang punya suamiku itu bisa dipakai buat bajunya narik becak.” Katanya sambil menunjukkan suaminya yang berdiri hanya beberapa depa darinya.

“Lalu yang lain?” kata ibu yang mengendong anak itu penasaran.

Perwiritan kita mendapat bantuan peralatan kebutuhan orang banyak seperti dandang, tenda, tikar, dan banyak lagi, apa lagi kemarin sebelum kampanye ini, semua anggota perwiritan kami mendapat jilbab dan kain sarung.” Kata ibu itu lagi.

“Iya ….ya? kata ibu yang menggendong anak itu dan terlihat letihnya makin bertambah.

“Kami juga kemarin kebagian, saya juga kebagian sembako, yah… lumayan buat kebutuhan seminggu nggak belanja” tambahnya menyetujui pendapat ibu yang memakai payung hijau sembari mendekatkan diri agar ikut kebagian mendapat keuntungan dari payung itu tanpa merugikan pemiliknya dan terhindar dari sengatan surya yang juga menyaksikan percakapan mereka dan sepertinya mengangguk-angguk meyetujui.

“Dan sekarang?” kata-katanya melanjutkan uraian yang belum selesai seperti guru sejarah di es-em-pe yang hendak melanjukan pelajarannya di depan murid yang sudah ditaklukkan kenakalannya.

“Tadi kita diberi makan siang dan nanti pasti kita akan diberi ongkos pulang ke rumah. Pastilah duit ongkos itu bisa buat belanja sehari, lumayan kan ?” katanya balik bertanya.

“Iya sih, tapi bagaimana kalau nantinya dia tidak terpilih karena masih ada calon yang lain, kata ibu yang menggendong anak itu sepertinya mengkhawatirkan nasib laki-laki bersafari yang terus ngoceh dengan bualan-bualan manisnya sehabis bergoyang dengan beberapa lagu dangdut.

Rupanya seorang laki-laki separuh baya dengan kemeja biru yang terlihat sudah agak usang nyeletuk, diam-diam dia mendengarkan pembicaraan dua ibu-ibu itu.

“Gitu aja kog repot.” Dengan menirukan logat ucapan mantan Presiden Indonesia ke empat, KH. Abdurrahman Wahid atau yang sering dipanggil Gusdur.

“Itukan memang kerja mereka, kalau mereka duduk nasib kita tidak akan beda dengan hari ini, yang petani akan tetap petani dengan hasil panen yang murah harganya sehingga hasil panennya tidak cukup untuk biaya hidup keluarganya.

Yang narik becak, besok juga harus narik, kalau tidak anak bininya tidak akan makan. Bertahun-tahun kita dibohongi terus oleh petinggi-petinggi di negara ini, sekarang giliran kita bohongi mereka.” Kata laki-laki itu dengan semangat ’45-nya.

“Apa sih susahnya bilang kita dukung mereka, toh mereka tidak tau hati kita, dulu apa mereka pernah datang kalau ada kemalangan di rumah kita? Apa mereka peduli kalau ada anggota keluarga kita yang miskin ini masuk rumah sakit? Apa mereka pernah nanya kenapa anak kita tidak bisa ikut semester di sekolahnya? Kenapa anak kita tidak bisa kuliah?” tanyanya dengan bertubi-tubi.

“Tidak kan ?” Jawabnya sendiri dengan sebuah pertanyaan lagi.

“Sekarang kesempatan kita mencicipi uang mereka, toh kita juga belum tahu orang seperti apa mereka itu. Bisa-bisa kita nanti dijual bulat-bulat seperti hutan kita yang hampir punah, TKI yang nasibnya tidak karuan di luar sana , buruh yang masih dinilai dengan Upah Minimum. Petani dan nelayan hidupnya masih sebatas untuk bisa bernafas.”

“Jadi apa peduli kita, yang penting kita lihat dan dengar kampanyenya, kita terima pemberiannya karena tidak ada do’a nolak rezeki karena kita tidak pernah minta.” Kata laki-laki itu dengan mengalihkan perhatian kedua ibu itu dari ocehan laki-laki yang bersafari di atas panggung.

“Itu sama artinya kita membohongi mereka,” kata ibu yang kelelahan menggendong anak itu sambil menurunkan anaknya dari gendongan mungkin karena sudah terlalu letih.

“Ya, itung-itung gantian sama pejabat yang selama ini membohongi kita, kapan lagi kita bisa menikmati uang mereka kalau tidak pada waktu-waktu begini” kata laki-laki berbaju biru itu yang sekali-kali mengisap rokok yang tembakau dibalutnya sendiri dengan kertas tik-tak.

Kedua perempuan itu mengangguk-anggukkan kepala mereka secara berjamaah seakan setuju apa yang barusan dikatakan oleh laki-laki berbaju biru itu.

Ket: Wartawan gadungan

perahu kecil

Upah Minimum Propinsi

Sejenis kertas tipis pembalut tembakau untuk dijadikan rokok

cerpen ini di buat pada

Padangsidimpuan, 06 Desember 2007